Pernahkah kita menunggui dan mengamati anak-anak kita saat
mereka makan kue? Tunggui hingga selesai dan perhatikan dimana mereka membuang
bungkusnya. Pernahkah kita, bagi yang berprofesi sebagai guru, memperhatikan
murid-murid minum teh botol atau permen saat mereka istirahat? Mereka minum
sambil berjalan? Setelah minum, mereka kemanakan botol kosongnya? Ditinggal
begitu saja di tepi jalan? Mereka mengupas permen sambil berjalan dan dibuang
begitu saja bungkusnya? Atau mereka menoleh kiri kanan mencari tempat sampah,
menghampirinya dan kemudian membuang bungkus permen ke tempat sampah?
Dari masalah sepele inilah timbulnya masalah besar, seperti
sampah, kerusakan lingkungan, bahkan korupsi. Menumpuknya sampah berasal dari
ke-tidak peduli-an masyarakat pada sampah. Sampah berceceran dimana-mana
sehingga harus ada petugas sampah yang memungutnya. Sampah dibawa ke tempat
pembuangan sampah, diangkut dengan truk sampah dan dibuang ke tempat pembuangan
akhir yang jaraknya puluhan kilometer dari sampah berasal. Polusinya merugikan
orang sepanjang jalan, menimbulkan kemacetan lalu lintas saat dinaikkan ke truk
sampah dan membutuhkan biaya mahal untuk memusnahkannya.
Jika budaya bersih telah tertanam dalam setiap pribadi, tak
akan dijumpai sampah dan kelanjutan masalahnya. Barang-barang yang akan dibuang
sudah dipilah di tingkat rumah tangga: sampah organik dibuat kompos atau jadi
makanan bebek. Sampah non organik dipilah antara lain menjadi: kertas, plastik,
kaleng, kaca, kayu dst. Jika sudah menumpuk, panggillah pengumpul atau
pemulung. Di beberapa tempat bahkan telah diadakan bank sampah. Barang-barang
yang sama sekali tidak bisa lagi dimanfaatkan, itulah yang harus dimusnahkan.
Cara pengelolaan sampah seperti ini akan membuka lapangan kerja di setiap RT/RW
dan sampah tidak lagi menjadi masalah tingkat kabupaten/kota, apalagi hingga
propinsi.