Saya punya langganan tukang cukur di sekitar Kebon Kelapa
Bandung. Tahu nggak salah satu kebiasaan tukang cukur? Dia selalu mengajak
ngobrol orang yang dicukurnya. Ngobrol apa saja, mulai dari sepakbola, politik
hingga harga cabe. Hal ini dia lakukan agar konsumennya bersikap santai, tidak
terburu-buru dan menikmati proses pencukuran rambutnya. Berbeda dengan aturan kendaraan
umum yang melarang penumpangnya berbicara dengan sopir, seseorang yang dicukur
justru wajib meladeni obrolan tukang cukur. Jika anda tipe orang pendiam,
minimal tanggapi dengan ungkapan pendek: ya, oh begitu, saya baru tahu lho,
dll. Jika orang yang sedang dicukur diam dan duduk manis, boleh jadi akan
mengantuk dan tertidur karena keenakan.
Salah satu obrolannya yang sangat berkesan adalah saat dia
ceritakan perjalanan karier tukang cukurnya. Dia katakan, semula dia hanya
bekerja pada tukang cukur yang lain. Ada orang lain yang sudah membuka usaha
cukur di tempat tersebut, lengkap dengan peralatan dan pelangganya. Sedangkan
dia datang hanya membawa badan saja, bahkan belum memiliki ketrampilan
mencukur. Lama kelamaan dia bisa mencukur dan bekerja pada orang itu sebagai pembantunya.
Setelah bekerja beberapa tahun, majikannya sakit dan
kemudian meninggal. Jadilah dia bekerja sendiri di tempat itu karena dari
keluarga majikannya tidak ada yang menggantikan karier almarhum.
Tahun demi tahun ia sendirian menjadi tukang cukur di tempat
itu, bahkan hingga kini, dan saya salah seorang pelangganya. Dia katakan, “Saya
tetap menghargai jasa majikan saya dulu meskipun sudah meninggal dan
keluarganya tidak ada yang melanjutkan usaha cukur ini. Tempat ini hanya
mengontrak, dan saya lanjutkan kontrakannya. Alat-alat yang dulu digunakan satu
persatu rusak dan saya terus menggantinya. Boleh dikata saat ini tidak ada lagi
alat cukur peninggalan beliau, selain kursi cukur tua yang sudah reyot”.
“Saya tiap bulan selalu menyisihkan uang untuk keluarganya,
apalagi mereka juga seperti saya, tergolong orang tidak mampu. Tidak ada
perjanjian hitam atas putih, tidak ada sewa menyewa, sekedar pesan agar saya
melanjutkan berusaha di tempat ini karena dari keluarganya tidak ada yang
melanjutkan.
Bisa saja saat majikan saya meninggal, saya mencari tempat
baru dan membuka usaha sendiri karena sudah punya pengalaman dan pelanggan.
Tapi saya tidak tega, saya menghargai jasa majikan saya, saya anggap ini
sebagai berkah. Kursi semula, satu-satunya peninggalan majikan yang hingga kini
masih saya pakai, mungkin sudah pantas jadi besi tua. Saya pun bisa menggantinya
dengan yang lebih bagus. Tak apalah kursi itu masih saya pakai, toh tidak
berpengaruh pada kerja saya.
Alhamdu lillah hingga saat ini saya selalu ingat jasa
majikan saya dan bisa berbagi dengan keluarga almarhum. Saya anggap ini sebagai
berkah usaha tukang cukur dan saya tidak ingin berkah itu dicabut Allah”.
Terakhir, tukang cukur itu sudah hafal dengan
model potongan rambut saya: setengah centimeter rata. Inilah model rambut saya
semenjak berhaji tahun 1998. Praktis, tidak merepotkan tukang cukur, 5 menit selesai
dikerjakan. Dan kemudian saya keluarkan selembar uang Rp. 10.000,- dari dompet,
ini tarif tahun 2014. Ada juga bonusnya, pijat-pijat kepala, kemudian kepala
diputar ke kiri dan ke kanan sampai berbunyi “krek”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar