Anak saya enam orang, tiga orang di Bandung dan tiga orang
lagi di Jogja. Yang di Jogja bahkan ada juga seorang menantu dan seorang cucu.
Saya tanyakan pada mereka: mau lebaran dimana? Jawabannya: lebaran di Bandung,
sehingga yang di Jogja semua menuju Bandung, alhamdu lillah kebagian tiket
kereta api dengan harga promosi.
Karena semua anak berlebaran di Bandung, saya putuskan untuk
pergi sendirian ke Jogja, berlebaran dengan ibu yang sendirian di rumah. Saya rancang
perjalanan santai karena sendirian dan suasana mudik: mungkin harus menginap di
terminal, mungkin harus tidur di masjid dll. Untuk mempercepat perjalanan, saya
coba mencari tiket kereta api yang tidak pernah macet, kecuali terlambat sampai
karena tambahan persilangan dengan kereta api lebaran.
1. Saya tidak mendapatkan tiket kereta jurusan Bandung –
Jogja. Akhirnya saya coba langsung ke loket stasiun Kiaracondong. Saya katakan:
kalau tidak ada yang Bandung – Jogja, bolehlah sampai Kutoarjo atau Kebumen
saja. Alhamdulillah, saya mendapatkan tiket Bandung – Maos. Maos, dimana itu?
Oh ya, Maos di Cilacap. Lumayan, minimal terhindar dari kemacetan di jalur
Bandung – Tasikmalaya. Dari Maos bisa disambung bis hingga Jogja.
Saya belum pernah naik bis dari Cilacap, hanya sekedar tahu
ada bis Efisiensi dengan jalur Cilacap – Jogja. Hanya saja saya belum tahu
naiknya dari mana, dari stasiun Maos harus naik apa, seberapa jauh dll.
Syukurlah, persis teman duduk di kereta adalah orang Maos dan juga turun di
stasiun Maos. Jadilah saya tumpahkan segala pertanyaan tadi padanya. Singkat
kata, saya tenang-tenang saja selama perjalanan dari Kiaracondong pukul 05.20
hingga Maos pukul 12.10. Bahkan penumpang di hadapan saya adalah konsultan
politik lokal di sebuah kabupaten yang dengan ramah berbagi banyak cerita.
2. Turun di stasiun Maos saya disambut tukang becak. “Tahu
agen bus Efisiensi?”, tanya saya. “Tahu pak!”, jawab tukang becak. Dengan
selembar uang sepuluh ribu saya naik becak untuk jarak sekitar 1 km. Bis
Efisiensi jurusan Cilacap – Jogja datang di agen Maos pukul 13.00 dengan tiket
Rp. 70.000,-
Saya bersyukur mendapat bis kelas eksekutif sehingga
perjalanan cukup nyaman. Dari Maos ke utara melewati Wangon, belok kanan ke
arah timur melewati Sampang dan Buntu. Memasuki daerah Kebumen, bis belok kanan
menuju Petanahan, belok kiri menyusuri jalur jalan Daendels. Jalan tidak begitu
bagus namun tetap terasa nyaman karena bis kelas eksekutif. Saya sempat
tertidur di bis dan terbangun saat memasuki Jogja, tepatnya di Temon Kulon
Progo.
Akhirnya saya turun di Ringroad Jl Parangtritis pukul 18.30,
di jalan sempat berbuka puasa dengan lanting rasa bumbu jagung. Untuk sampai
rumah yang berjarak 1,5 km lagi, saya gunakan ojek dengan bayaran Rp. 10 ribu.
3. Saat pulang saya hanya memiliki tiket kereta untuk
perjalanan Purwokerto – Bandung, yaitu kereta Serayu Malam. Saya sudah berusaha
mencari tiket langsung Jogja – Bandung, atau Kutoarjo – Bandung, bahkan Kebumen
– Bandung, namun semuanya tak ada. Tak apa lah, karena yang saya hindari adalah
perjalanan dengan bis melalui jalur Tasikmalaya – Bandung yang terkenal macet.
Tiketnya tidak mahal, hanya Rp. 35.000,-
Yang saya khawatirkan adalah perjalanan dengan bis antara
Jogja – Purwokerto akankah macet? Untuk itu saya sudah berangkat ke terminal
Giwangan Jogja pukul 09.00 meskipun jadwal kereta dari Purwokerto pukul 16.30.
Benarlah dugaan saya! Meskipun tidak macet namun bis tidak bisa melaju kencang
karena aktifitas pasar di sepanjang jalur Jogja – Purwokerto sudah dimulai. Ada
lagi titik-titik kepadatan lalu lintas, seperti depan rumah makan,
pertigaan/perempatan jalan dimana rombongan kendaraan menyeberang dan hajatan
syawalan warga masyarakat. Perjalanan Jogja – Purwokerto yang biasanya maksimal
5 jam, ditempuh selama 7 jam.
4. Penumpang bis di terminal Giwangan sangat padat.
Penumpang sudah menumpuk di tempat pemesanan
tiket sejak sebelum bis datang. Begitu bis datang maka kerumunan penumpang pun
segera naik dan bis segera berangkat. Saya mendapatkan tempat duduk nomor 41,
di sebelah saya nomor 42 selanjutnya saya ketahui bernama Fuad, baru lulus
kuliah UNY.
Anak muda itu jelas seumuran anak saya namun dia merasa
tidak berjarak dengan saya. Sejak bis mulai bergerak dia bercerita apa saja.
Saya yang berencana tidur di bis akhirnya harus mengurungkan niat itu. Pertama
dia bercerita keterpaksaannya mengikuti testing CPNS. “Ayah saya menginginkan
saya jadi PNS, tapi saya tidak mau”, katanya.
“Mengapa tidak mau jadi PNS?”, tanya saya.
“Karena sejak kuliah saya sudah berbisnis. Sekarang saya
punya angkringan di lembah UGM. Saya tidak bisa meninggalkan teman-teman yang
menjaga warung saya”.
“Bukankah menjadi guru PNS tidak mesti meninggalkan bisnis?”
“Saya juga punya hobby travelling, pak. Saya suka bersepeda
keliling Jawa Bali dan Sumatera. Saya juga mengkoleksi motor-motor tua tahun
50-an”.
“Motor tua tahun 50-an?”, tanya saya. “Bukankah motor baru
ada sekitar tahun 70?”.
“Itu sih motor Yamaha dan Honda. Motor tahun 50-an itu
seperti Ducati, Hummel, atau BSA”, katanya.
Ketika bis melewati sebuah bengkel motor, Fuad mencolek
saya. “Lihat pak, di bengkel itu ada motor tua. Nanti dalam perjalanan pulang
ke Jogja saya akan singgah dan lihat motor itu. Bapak tahu nggak, ada teman
saya yang membeli motor BSA tahun 50 dengan cara ditukar dua ayam jago bangkok.
Pemilik motor itu sudah menyimpan motornya di kandang sapi dan tidak dipakai
lagi.
Oleh teman saya motor itu dia beli. Ternyata pemiliknya juga
pecinta ayam bangkok. Jadilah motor itu ditukar dengan dua ekor ayam jago
bangkok. Bapak tahu nggak berapa harga motor itu sekarang? 35 juta pak”.
Fuad saya lihat anak muda yang penuh aktivitas. Dia juga
bercerita hobbynya olahraga bela diri, kekagetannya harus belajar bahasa Arab
karena di sekolahkan orang tuanya di MAN dst. Kami berpisah saat dia turun di
Buntu. Dia mau mengunjungi pacarnya yang sudah bekerja sebagai CS di BRI
Banyumas.
5. Pukul 16.00 saya tiba di Stasiun Purwokerto berkat jasa
tukang ojek dengan motor tuanya namun gesit membelah jalan-jalan sepanjang
terminal hingga stasiun Purwokerto. Sebelumnya saya sempat khawatir tertinggal
kereta mengingat kepadatan lalu lintas di daerah Sokaraja. Maklumlah, Sokaraja
adalah pusat oleh-oleh Banyumas dan menjadi jalur pertemuan dari arah
Banjarnegara, Banyumas, Buntu maupun Tegal. Setiap pengendara biasa berhenti di
Sokaraja untuk berbelanja oleh-oleh, terutama getuk goreng Haji Tohirin.
Saya sudah berencana membatalkan naik kereta dan menggunakan
bis saja dari terminal Purwokerto, mengingat bis Efisiensi berakhir di terminal
Purwokerto. Berkat jasa kuli angkut barang dan tukang ojek yang menyambut saya
di pintu bis, akhirnya saya tiba di stasiun Purwokerto dengan selamat. Ternyata
terminal bis Purwokerto cukup besar. Saya tidak tahu mana utara mana selatan,
mana tempat ojek dan angkot mangkal.
Untunglah datang kuli angkut barang dan tukang ojek di
tempat turun penumpang. Koper dan karung bawaan saya mereka bawa. Saya dipandu
membelah kerumunan orang menempuh deretan kios dan jajaran bis, mungkin
sepanjang 200 meter. Kuli panggul dan tukang ojek menanyakan tujuan saya dan
saya katakan hendak ke stasiun Purwokerto untuk naik kereta tujuan Bandung.
“Saya tahu, pak! Itu kereta Serayu Malam berangkat pukul
16.30. Bapak nggak akan cukup waktu kalau naik angkot, apalagi penumpangnya
belum ada”, kata tukang ojek.
Motor tukang ojek itu tergolong motor tua, keluaran tahun
2.000 atau sebelumnya. Namun tukang ojeknya sudah hafal jalan menuju stasiun
Purwokerto sehingga bisa selap-selip melalui jalan-jalan kecil. Saya nikmati
perjalanan sepanjang jalur terminal hingga stasiun, hitung-hitung city tour
mengenal sudut-sudut Purwokerto. Yang saya ingat hanyalah nama-nama pahlawan
nasional yang dijadikan nama jalan dan sebuah gedung perparkiran yang cukup
megah, melebihi yang ada di Bandung.
Alhamdu lillah dengan uang Rp. 5.000,- untuk kuli angkut
barang dan Rp. 20.000,- untuk tukang ojek, saya selamat tiba di stasiun
Purwokerto. Barang-barang bawaan dibawakan tukang ojek hingga tempat boarding
tiket, sementara motor ojeknya sendiri dibiarkan tergeletak di pinggir jalan. Ada
waktu setengah jam untuk ke toilet, melihat-lihat suasana stasiun Purwokerto
yang tertata rapi dan berfoto ria.
Saya perhatikan toko-toko di stasiun Purwokerto semuanya
menghadap keluar, tidak ada yang menghadap ke dalam. Demikian juga dengan rumah
makan. Sedangkan untuk melayani penumpang yang sudah boarding menunggu kereta
berangkat hanya disisakan sebuah loket kecil. Jadi, puas-puaskanlah jajan,
makan, membeli oleh-oleh, sebelum masuk stasiun. Di dalam stasiun juga hanya
tersedia sedikit kursi untuk calon penumpang. Maksud pihak stasiun barangkali
supaya calon penumpang secara bertahap masuk ruang boarding dan menunggu kereta
datang. Sedangkan yang keretanya belum segera datang, menunggunya diluar
stasiun saja.
6. Kereta Serayu Malam berangkat tepat pukul 16.30.
Penumpangnya masih sedikit, sekitar sepertiga kapasitas, karena kebanyakan akan
naik dari stasiun Kroya, Sidareja atau Maos. Sebenarnya saya bisa naik dari
stasiun Kroya yang berjarak lebih dekat dari Jogja. Namun saya memilih naik
dari Purwokerto dengan pertimbangan seandainya tertinggal kereta maka saya bisa
naik bis tujuan Bandung dari terminal Purwokerto.
Ternyata belum banyak penumpang yang tahu adanya kereta
Serayu yang berangkat dari Purwokerto dengan tujuan Jakarta. Dalam kondisi normal
kereta Serayu memerlukan waktu tempuh lebih lama, yaitu 11 jam untuk sampai
Jakarta. Hal ini karena jalur yang diambil adalah jalur selatan melalui
Cilacap, Banjar, Tasikmalaya dan Bandung. Berbeda dengan jalur Purwokerto –
Cirebon – Cikampek – Jakarta yang hanya memerlukan waktu tempuh 7 jam. Namun
disaat mudik kereta Serayu menjadi dewa penolong, disamping tiketnya murah,
juga anti macet. Semboyan anti macet ini benar juga, terbukti kereta sampai di
stasiun Kiaracondong pukul 00.15.
6. Turun di stasiun Kiaracondong pukul 00.15 saya berjalan
sekitar 300 meter menuju jalan besar. Beruntung teman duduk di kereta dengan
senang hati membawakan karung berisi macam-macam herba. Banyak taksi yang
menawarkan jasanya namun saya tolak. Rumah saya di Ciburial daerah Dago Utara,
sudah termasuk luar kota, sudah pasti ongkos taksi melebihi harga 3 porsi sate
kambing.
Beruntung di jalan Kiaracondong ada angkot Kalapa – Cicaheum
yang nge-tem. Nge-tem itu dari kata “time” (waktu), maksudnya angkot-angkot itu
meninggalkan terminal satu persatu dan ada yang mengatur waktu
keberangkatannya. Ternyata di dalam angkot hanya ada seorang penumpang dan dua
orang teman sopir, namun angkot terus berangkat setelah saya naik. Bukankah ini
suatu keberuntungan?
Di perempatan Antapani penumpang sebelah saya turun, begitu
juga seorang teman sopir. Jadilah saya sendirian jadi penumpang, seperti naik
taksi saja. Di depan ada sopir yang mengobrol dengan temannya, ada suara radio
dan sesekali angkot berjalan perlahan sambil menunggu penumpang. Namun hingga
perempatan jalan Pahlawan saya tetap sendirian sebagai penumpang. Saya pun
turun, memberikan ongkos dan sebungkus kueh yang jadi bekal saya di kereta.
7. Di perempatan Jl Pahlawan saya menunggu angkot jurusan
Cicaheum – Ciroyom. Angkot ini memang beroperasi 24 jam. Namun hingga 15
menunggu, tak satu pun angkot lewat. Mungkin karena masih tengah malam dan baru
pukul 02.00 orang-orang mulai ke pasar Suci. Akhirnya mendekatlah sebuah taksi
dan menawarkan jasanya. Saya tanya, “Ke Ciburial mau pak?”.
Saya tidak mendengar jawaban sopir taksi itu, maka saya
ulangi pertanyaan saya. Sopir taksi membuka kaca pintu mobil dan mengatakan
sanggup mengantar saya. “Bisa lewat Cigadung kan?”, tanya sopir taksi.
“Bisa”, jawab saya. “Nanti saya tunjukkan jalannya”. Taksi
mengarah ke taman makan pahlawan Cikutra, belok kiri ke arah Cikondang, belok
kanan terus kiri ke arah Cibeunying, lurus melewati jalan Cigadung, belok kanan
ke arah Ciburial, dan sampailah ke rumah tepat pukul 01.00.
“Berapa pak?”, tanya saya. “Rp. 30.000,-“. “Oke …. Ini saya
tambah Rp. 5.000,- dan ada sedikit kueh bekal makan di kereta tadi”, kata saya.
Inilah catatan perjalanan saya mudik ke Jogja. Sebuah
perjalanan dengan banyak keberuntungan.
Nice trip :D
BalasHapus