Rabu, 20 Agustus 2014

KOTORAN DI BAJU PUTIH



Sutan Bhatoegana pernah mengatakan, “Karena PKS itu warnanya putih, maka ada sedikit kotoran saja sudah nampak”.
Ungkapan ini dia kemukakan menanggapi kasus korupsi yang menimpa Presiden PKS, yaitu LHI, yang dituduh menerima dugaan suap sebesar 1 M. Kasus ini kemudian bergulir menjadi bola salju yang semakin lama semakin membesar, menyeret banyak orang, diberitakan massmedia setiap saat, mencoreng nama partai, bahkan nama Islam karena PKS adalah partai berbasis Islam. Terakhir, boleh jadi menjadi penyebab turunnya suara PKS pada pemilu legislatif 2014 ini.
Sutan Bhatoegana benar. Seolah dia mengatakan bahwa sesungguhnya korupsi itu ada di semua partai. Bahkan di partai-partai yang lain jauh lebih besar. Misalkan saja kasus yang menimpa Nazaruddin, bendahara Partai Demokrat terkait pembangunan Hambalang sebesar 2,5 T. Ada lagi kasus yang menimpa Akil Mochtar, Ketua MK yang dahulunya adalah aktivis Golkar, yang menerima suap milyaran terkait berbagai kasus pilkada. Jauh sebelumnya ada juga kasus suap dalam pemilihan Gubernur Bank Indonesia yang nilainya 18 M.
Daftar kasus korupsi akan semakin panjang jika ditambah kasus-kasus yang tidak sampai ditangani KPK dan dibawa ke meja hijau. Namun mengapa kasus yang menimpa PKS yang “hanya” bernilai 1 M berakibat hancurnya nama partai dan menurunkan perolehan suara secara signifikan? Jawabnya adalah karena “sedikit kotoran menempel di kain berwarna putih”.
Penanganan kasus korupsi PKS oleh KPK sendiri dipermasalahkan mengingat kasus itu menjerat LHI, sedangkan LHI bukan seorang pejabat publik. Benar bahwa dia adalah seorang Presiden partai, namun dia bukanlah anggota DPR karena PKS melarang rangkap jabatan. Tuduhannya adalah LHI bisa mempengaruhi anggota DPR dari PKS, juga menteri pertanian yang adalah kader PKS. Hal ini tentu memerlukan pembuktian yang tidak mudah.
Pada kasus yang menjerat Akil Mochtar, jelas dia disidik KPK karena seorang pejabat publik. Selanjutnya kasus ini melebar pada penyuapya, yaitu Gubernur Banten dan anggota DPR yang jelas-jelas pejabat publik. Berbeda dengan LHI yang bukan pejabat publik. Kalau dikatakan dia akan mempengaruhi menteri pertanian, ternyata Menteri Pertanian tidak terseret pada kasus ini dan tidak menjadi tersangka atau terdakwa. Jelaslah upaya KPK menjerat LHI yang bukan pejabat publik adalah berlebihan dan diluar kewenangannya.
Saya melihat minimal ada dua pesan dari kasus ini, yaitu: peran mediamassa membentuk opini publik dan bagaimana sebuah partai (berbasis) Islam harus bertindak.
Mediamassa, baik cetak maupun elektronik, terlihat gencar memberitakan kasus korupsi LHI ini. Setiap hari, bahkan setiap saat, muncul pemberitaan tentang kasus ini. LHI dan Ahmad Fathonah, orang yang menjadi perantara dalam kasus ini, menjadi selebritis dan jadi bulan-bulanan infotainment karena dianggap memiliki nilai jual berita. LHI memiliki istri muda yang masih duduk di bangku SMA dan Ahmad Fathonah dekat dengan fotomodel majalah pria dewasa, sebuah profesi baru yang mencuat akibat kasus ini.
Karena kasus ini melibatkan sebuah partai berbasis Islam, tak pelak di intern ummat Islam sendiri timbul polemik. Timbul kebencian pada PKS dan partai Islam pada umumnya karena adanya anggapan: apalah gunanya menyandang nama Islam kalau masih korupsi. Singkatan PKS pun berubah menjadi Partai Kandang Sapi. Disini saya melihat strategisnya peran mediamassa dalam membentuk opini publik dengan bombardir berita yang menurut istilah sekarang: terstrutktur, masif dan sistematis (TMS).
Timbul pertanyaan: adakah yang bermain dalam kasus ini dengan tujuan menghancurkan PKS dan/atau partai Islam pada umumnya? Dari sisi kasusnya jelas lemah mengingat LHI bukan pejabat publik dan tidak layak dibidik KPU. Kalau akhirnya bisa disidangkan, divonis dan masuk penjara, berarti memang ada upaya untuk mengangkat kasus ini. Tentu saja tidak gratis, alias perlu biaya.
Di dunia mediamassa pun adanya upaya pembentukan opini publik bukan rahasia lagi. Mediamassa tidak menutup diri adanya pesan sponsor dari suatu fihak. Apakah suatu kasus akan diberitakan ataukah tidak, tidak hanya dilihat dari kaidah jurnalistik, namun juga dari sisi siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Disinilah muncul adanya fihak-fihak yang berkepentingan dan tentunya berkaitan dengan ongkos atau biaya.
Menarik untuk dibandingkan kasus yang melibatkan LHI dan Nazaruddin. Pada kasus Nazaruddin yang bernilai 2,5 T tidak sampai menenggelamkan Partai Demokrat, karena meskipun “kotorannya” besar namun menempel di kain biru tua. Penurunan suara partai Demokrat lebih disebabkan karena SBY tidak akan menjabat Presiden lagi. Sedangkan kasus yang melibatkan LHI yang “hanya” bernilai 1 M menjadikan PKS mengalami penurunan suara signifikan dan namanya hancur. Boleh jadi untuk upaya ini diperlukan ongkos yang jauh diatas 1 M. Luar biasa!!!
Tentu tidak mudah untuk mengungkap siapa yang berperan dalam hal ini. Saya sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia da’wah Islam hanya bisa mengatakan ini bagian dari penghancuran Islam. Ini pun bisa diperdebatkan mengingat PKS sudah mendeklarasian diri menjadi partai terbuka.
Persoalan berikutnya adalah menyangkut eksistensi partai Islam yang karena “putih” maka sedikit kotor saja sudah terlihat jelek. Saya tidak hendak membicarakan sejarah perjuangan partai Islam yang selalu menjadi bahan perdebatan. Saya justru ingin mengatakan dalam dunia yang gelap gulita pun selalu masih ada setitik cahaya. Ketika banyak orang pesimis dengan keberadaan partai Islam, saya justru ingin mengajak membangun partai Islam yang semakin mendekati ideal.
Sekali lagi sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia da’wah, saya mendorong kawan-kawan yang memiliki “skill” sebagai politikus untuk terjun dalam dunia politik praktis mengingat hal ini sebagai bagian dari ajaran Islam, yaitu ilmu siyasah. Dengan bendera partai Islam, kawan-kawan didorong untuk mengimplementasikan ajaran Islam semaksimal mungkin dalam diri dan perilaku politik. Kawan-kawan dituntut berfikir keras dan cerdas menghadapi orang lain yang bermain kotor dan menghalalkan segala cara.
Para politisi Islam harus banyak belajar sejarah perjalanan partai-partai Islam semenjak Syarikat Islam di awal abad 20, Masyumi di awal kemerdekaan Indonesia, zaman Orde Baru dst. Kebangkitan dan kejatuhannya, perpecahan intern, intervensi pihak luar dll. Di negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini terdapat kebebasan berkumpul dan berserikat yang dilindungi undang-undang. Membuat partai berlandaskan ajaran Islam tentu saja dibolehkan, apalagi mayoritas penduduknya beragama Islam. Mari kita tunjukkan bahwasanya ajaran Islam itu luhur dan diatas segala ajaran lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar