Jumat, 14 Desember 2018

GENERASI CEPAT TUA DAN AWET TUA


Generasi saya adalah generasi cepat tua. Tumbuh dan dewasa disaat pembangunan sedang digencarkan, hingga ada gelar “Bapak Pembangunan” bagi Presiden Soeharto. Mencurahkan perhatian pada satu bidang, khusyu’, hingga tiba-tiba sekarang merasa harus pensiun. Saat ini banyak yang sedang berfikir mengerjakan apa saat pensiun nanti.

Disisi lain terasa fisik mulai melemah, berbagai penyakit menggerogoti tubuh, rambut semuanya memutih. Teman-teman seangkatan banyak yang keluar masuk ruang praktek dokter untuk konsultasi kesehatan, bahkan ada beberapa yang sudah mendahului menghaap Sang Pencipta. Inilah generasi yang cepat tua dan (maaf) juga cepat mati.


Generasi Awet Tua
Generasi orang tua saya bisa disebut generasi awet tua. Saat ini di usia 80-an meskipun fisiknya melemah namun semangat hidupnya tetap berkobar. Saat saya pulang kampung beliau-beliau menyapa dengan ramah, menanyakan kondisi keluarga, keadaan di kota, bahkan perkembangan dunia politik. Mungkin karena dilahirkan di zaman revolusi merebut kemerdekaan hingga semangat hidup itu terbawa hingga kini.

Generasi awet tua ini sudah mengakhiri pengabdiannya untuk negeri sekitar 20-30 tahun lalu. Mereka lah tonggak berdirinya NKRI, meletakkan dasar-dasar kehidupan di berbagai segi: ekonomi, pertanian, industri, pendidikan, kebangsaan dsb. Mereka bangga pernah bekerja di Telkom, PLN, Jasa Marga, Pelni dan berbagai BUMN lainnya.

Seperti gong, apabila ditabuh akan banyak penuturan yang beliau sampaikan. Bagaimana beratnya membangun jaringan telekomunikasi di Sulawesi. Menarik-narik kabel, meninggalkan anak istri berhari-hari meskipun tetap dalam satu propinsi. Yang bekerja di Kementerian PU akan bercerita serunya membuka hutan untuk membangun jalan. Yang berkarir di bidang ketentaraan akan berkisah berpindah-pindahnya penugasan. Akibatnya, anak-anaknya pun harus mengikuti dan pindah-pindah sekolah.

Secara tak sengaja saya pernah singgah shalat dhuhur di sebuah perumnas di sisi barat Bandung. Saya heran karena jamaahnya penuh. Ternyata mayoritas jamaah tersebut adalah para pensiunan, purnakaryawan, sehingga tak ada lagi kesibukan berkantor. Saya bersyukur menemui kejadian ini, bertemu dengan beliau-beliau yang awet tua.

Generasi Cepat Tua
Generasi saya yang saya sebut generasi cepat tua ini boleh dikatakan generasi mapan. Saat kuliah dulu mengambil jurusan sesuai cita-citanya dan akhirnya terbukti. Yang ingin menjadi hakim masuklah fakultas hukum. Yang ingin bekerja di bank masuklah fakultas ekonomi. Yang ingin bekerja di pabrik semen, masuklah fakultas teknik. Yang ingin jadi penyuluh pertanian masuklah fakultas pertanian.

Setelah lulus dan bergelar sarjana, berbondong-bondonglah mereka menyerbu kota meninggalkan orang tua dan kampung halamannya. Bekerja sesuai dengan gelar kesarjanaannya.

Di kota-kota besar, di berbagai pabrik-pabrik industri, mereka memiliki jabatan, anak buah, dan menjadi orang-orang yang mapan. Memiliki keluarga harmonis, rumah dan kendaraan yang memadai, lingkungan yang asri. Disisi lain tuntutan lingkungan juga semakin tinggi. Biaya hidup tinggi, biaya sekolah dan kuliah anak-anak tinggi, biaya kesehatan tinggi.

Akibatnya segala potensi digali, bekerja lebih keras mencari penghasilan tambahan. Disisi lain perhatian terhadap kesehatan diri berkurang, kurang rekreasi karena tuntutan kerja dan biaya hidup keluarga tinggi. Inilah yang membikin cepat tua.

Studi pada penyakit jantung saat ini menyebut potensi gangguan penyakit jantung pada usia 40-50 tahun adalah 3x lebih besar dibanding tingkat usia lainnya. Seorang sahabat FB yang seumur dengan saya menyebut sudah 15% temannya yang mendahului menghadap Sang Pencipta. Jadi benarlah dugaan saya bahwa generasi cepat tua ini juga cenderung menjadi generasi cepat mati (maaf!).

Generasi Milenial
Melihat perubahan zaman saat ini yang begitu cepat, juga belajar pada pengalaman generasi-generasi diatas, saya melihat betapa sulitnya jalan yang harus ditempuh oleh generasi muda sekarang, atau yang biasa disebut generasi milenial. Ambil contoh dalam bidang pendidikan: adakah jaminan seseorang yang belajar di fakultas kedokteran kelak menjadi dokter dan bekerja di sektor kesehatan?

Boleh jadi disaat lulus menjadi dokter nanti ia tidak bisa langsung praktek karena standar penanganan pasien sudah sangat tinggi. Apalagi yang belajar dalam bidang teknologi komputer dan informasi, boleh jadi ilmu yang pernah dipelajari langsung menjadi usang saat memasuki dunia kerja.

Hari ini apa yang disebut ‘disruption’ sudah benar-benar terjadi. Taksi-taksi dan ojeg konvensional dikalahkan oleh taksi dan ojeg online. Karyawan perbankan, karyawan operator jalan tol, banyak yang dirumahkan karena munculnya teknologi finasial atau fintech.

Menjadi pegawai negeri atau yang sekarang disebut ASN (Aparatur Sipil Negara) nampaknya bukan pilihan menarik karena diluar itu keadaan lebih dinamis. Bisnis online yang saat ini berkembang pesat bisa digeluti oleh siapa saja, cukup dengan modal tidak gaptek (gagap teknologi). Berpindah tempat kerja menjadi barang lumrah mengingat sistem di berbagai perusahaan telah terbangun dengan baik berkat adanya dukungan komputer.

Pesan Anies Baswedan
Insya Allah generasi milenial ini akan menjadi generasi bahagia sepanjang hayat. Mereka bisa belajar dari generasi orang tua dan kakeknya. Mereka hidup di zaman serba ada, segala sesuatu bisa dikendalikan dari genggaman tangannya melalui gadget. Pesan makanan cukup pijat HP, pesan taksi dari HP, belanja segala sesuatu cukup cara online. Akibatnya adalah jadi malas gerak (mager) sehingga diperlukan olahraga yang cukup, menjaga pola makan dan pola hidup.

Bapak Anies Baswedan, gubernur DKI Jakarta yang juga pernah menjabat Mendikbud mengatakan, generasi muda sekarang perlu dibekali dengan 3 hal: akhlaqul karimah, kompetensi, dan literasi. Setelah itu bebaskan ia menempuh jalannya sendiri.

Akhlaq menjadi dasar, pondasi, pijakan, yang menjadi landasan segala sepak terjangnya. Memancar dalam setiap tindak tanduknya. Seseorang yang berakhlaq mulia akan dapat diterima dimana saja dan oleh siapa saja. Dalam akhlaq mulia tersebut terkandung sifat-sifat: kejujuran, siap bekerja, sikap empati dll.

Kompetensi berarti ahli dalam bidangnya. Faham benar dengan apa yang dia kerjakan. Berprestasi di tempat kerjanya. Jika bekerja di sebuah bengkel motor atau mobil, ia bisa diandalkan untuk menangani berbagai kerusakan motor atau mobil: mesin, kelistrikan, perkabelan, daya dorong mesin, dsb.

Kemampuan literasi akan memandunya menapaki perubahan yang sangat cepat terjadi. Ia akan dengan mudah mampu menyesuaikan dirinya dengan segala perubahan itu. Kemajuan teknologi harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Kunci dari menghadapi berbagai perubahan tersebut adalah membiasakan membaca dan melakukan kajian-kajian.

Wallahu a'lam bish shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar