Istilah ini saya dapat dari almarhum KH. AR. Fachruddin,
ketua PP Muhammadiyah terlama, dalam bahasa Jawa. “Islam kuwi gampang ning ojo
digampangke. Angel ning ojo di ngel-ngel”. Dalam hal fiqh banyak sekali
perbedaan karena fiqh adalah ijtihad ulama. Misalkan posisi tangan saat berdiri
shalat: ada yang sedekap, ada yang dijulurkan ke bawah saja. Yang sedekap pun,
ada yang didahului dengan mengangkat tangan, ada yang tanpa harus mengangkat
tangan.
Kalau dirunut, semuanya ada pedomannya, di Al Quran dan/atau
hadits. Terjadi perbedaan dalam praktek karena adanya fiqh ulama yang
menguraikan sesuai kondisi setempat. Misalkan qurban di Saudi Arabia adalah
unta, di Indonesia boleh dilakukan dengan sapi atau domba.
Satu contoh, dalam hal shalat saya selalu berusaha shalat
diawal waktu dan berjamaah. Di pesantren senantiasa dikumandangkan adzan dan
berjamaah dengan santri. Di rumah bertetangga dengan masjid dan selalu
terdengar adzan. Namun adakalanya sedang di perjalanan untuk berbelanja dengan
kendaraan motor.
Saat terdengar adzan dan ingin singgah shalat berjamaah
timbul keraguan. Amankah barang-barang belanjaan saya tinggal di motor, saya
harus membuka jaket, sepatu, helm dan berbagai tas/ransel. Inilah yang
mendorong saya memilih shalat sesampainya di rumah meskipun tidak di awal
waktu.
Jadi ketika ada jamaah shalat subuh pendukung salah satu capres
di Gelora Bung Karno (GBK) saya tidak begitu kaget. Saya membayangkan ratusan
ribu orang itu mencari air untuk wudhu, di tengah malam. Perkiraan saya ada
juga yang tayamum karena sulit keluar dari barisan. Ingat, waktunya terbatas,
jumlah toilet terbatas, tempatnya tidak di desain sebagai masjid atau tempat
shalat.
Bagaimana dengan imam shalat? Kalau mau diadakan shalat
berjamaah sekaligus berarti hanya ada seorang imam dan imam itu mengambil
posisi paling depan. Mungkinkah? Harus juga disediakan sound system yang
terdengar hingga jamaah paling belakang.
Maka diambil upaya optimal. Ada yang berjamaah di lapangan
tengah, ada yang di sela-sela tempat duduk, ada yang samping toilet sepanjang
bisa dijauhkan dari najis. Saya yakin, semuanya tetap menghadap kiblat,
mengarah ke Ka’bah di Masjidil Haram. Bukan mengarah ke podium tempat capres
kampanye. Hal ini tidak akan terjadi jika pengunjung kampanye hanya sedikit dan
cukup dengan mushalla yang tersedia di tempat itu.
Di setiap masjid setelah dikumandangkan adzan jamaah
melaksanakan shalat sunnat qabliyah atau shalat tahiyatul masjid. Sambil
menunggu jamaah lain karena ada yang sedang wudhu atau di perjalanan. Saat
iqamat dikumandangkan di masjid itu hanya ada satu rombongan shalat berjamaah
dengan seorang imam di paling depan.
Namun setelah rombongan shalat berjamaah ini selesai,
datanglah sekelompok orang yang melaksanakan shalat berjamaah di serambi masjid
sisi kiri. Datang lagi sekelompok orang yang melaksanakan shalat berjamaah di
pojok belakang masjid, dst. Jadilah di masjid itu terdapat beberapa kelompok
shalat berjamaah. Ada masjid yang pengurusnya tegas, melarang dibuat kelompok shalat
berjamaah baru jika yang lama belum selesai. Aturan ini ditegakkan dengan
adanya petugas yang mengawasi setiap orang yang datang ke masjid hendak shalat.
Masjidil Haram yang adalah masjid terbesar di dunia pun
memerlukan berbagai kekhususan (khashaish) dan ini ada riwayatnya. Diantaranya
adalah bolehnya (bukan harus) bercampur shaf laki-laki dan perempuan. Pada
kondisi normal, ada petugas yang
mengatur bagian mana shaf laki-laki dan shaf perempuan. Namun saat puncak
kunjungan, seperti saat musim haji, terlebih lailatul qadar, pengaturan shaf
jamaah tidak mungkin lagi dilakukan.
Bahkan saat shalat fardhu hari-hari biasa pun sering terjadi
jamaah shalat melimpah hingga halaman luar masjid dan jalan-jalan di sekitar.
Setiap Jum’at, agar dapat memasuki ruang dalam masjid kita harus datang pukul
08.00 pagi. Setelah waktu itu, cukup puaslah kita shalat di halaman masjid.
Kekhususan lain adalah tidak dilarang melewati shaf jamaah
lain. Bedakan dengan di tanah air yang orang akan marah jika kita jalan di
depan tempat shalatnya. Di Masjidil Haram jangankan melewati tempat shalat,
melangkahi orang yang sedang sujud pun sering terjadi. Saat sedang khusyu’
sujud, ternyata ada kaki orang Turki atau Afrika yang melangkahi kepala kita.
Bahkan ada yang sambil memegang kepala kita yang sedang sujud.
Dalam soal haji, ulama Saudi Arabia masih memegang teguh
ucapan Rasulullah bahwa batas Arafah adalah ini, ini dan ini. Di Arafah seluruh
jamaah berkumpul pada waktu yang sama dan tempat yang sama. Arafah punya luas
3,5 km x 3,5 km. Jadi luas Arafah itu adalah 12.250.000 meter persegi. Daya tampung
Arafah terbatas sehingga diadakanlah pembatasan jumlah jamaah atau kuota.
Inilah penyebab terjadinya antrian untuk melaksanakan ibadah haji.
Benarlah kata pak AR Fachruddin: Islam itu mudah, namun
jangan dipermudah. Boleh juga dianggap sulit namun jangan dipersulit.
Saat ini sulit untuk melaksanakan ibadah haji karena adanya
kuota, yaitu 210.000 jamaah per tahun. Ada daerah yang calon hajinya sangat banyak,
seperti Sulawesi Selatan sehingga harus antri 20 tahun. Bagaimana solusinya?
Laksanakanlah ziarah umrah. Umrah adalah jawaban kita kepada Allah atas
perintahnya mengunjungi Baitullah dan tanah haram. Umrah bisa dilakukan kapan
saja, terkecuali di musim haji, sehingga kita leluasa mengatur waktunya.
Silahkan bergabung dengan “Babussalam Safar”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar