Rabu, 10 April 2019

MUDAH TAPI JANGAN DIPERMUDAH, SULIT TAPI JANGAN DIPERSULIT


Istilah ini saya dapat dari almarhum KH. AR. Fachruddin, ketua PP Muhammadiyah terlama, dalam bahasa Jawa. “Islam kuwi gampang ning ojo digampangke. Angel ning ojo di ngel-ngel”. Dalam hal fiqh banyak sekali perbedaan karena fiqh adalah ijtihad ulama. Misalkan posisi tangan saat berdiri shalat: ada yang sedekap, ada yang dijulurkan ke bawah saja. Yang sedekap pun, ada yang didahului dengan mengangkat tangan, ada yang tanpa harus mengangkat tangan.

Kalau dirunut, semuanya ada pedomannya, di Al Quran dan/atau hadits. Terjadi perbedaan dalam praktek karena adanya fiqh ulama yang menguraikan sesuai kondisi setempat. Misalkan qurban di Saudi Arabia adalah unta, di Indonesia boleh dilakukan dengan sapi atau domba.


Satu contoh, dalam hal shalat saya selalu berusaha shalat diawal waktu dan berjamaah. Di pesantren senantiasa dikumandangkan adzan dan berjamaah dengan santri. Di rumah bertetangga dengan masjid dan selalu terdengar adzan. Namun adakalanya sedang di perjalanan untuk berbelanja dengan kendaraan motor.

Saat terdengar adzan dan ingin singgah shalat berjamaah timbul keraguan. Amankah barang-barang belanjaan saya tinggal di motor, saya harus membuka jaket, sepatu, helm dan berbagai tas/ransel. Inilah yang mendorong saya memilih shalat sesampainya di rumah meskipun tidak di awal waktu.

Jadi ketika ada jamaah shalat subuh pendukung salah satu capres di Gelora Bung Karno (GBK) saya tidak begitu kaget. Saya membayangkan ratusan ribu orang itu mencari air untuk wudhu, di tengah malam. Perkiraan saya ada juga yang tayamum karena sulit keluar dari barisan. Ingat, waktunya terbatas, jumlah toilet terbatas, tempatnya tidak di desain sebagai masjid atau tempat shalat.

Bagaimana dengan imam shalat? Kalau mau diadakan shalat berjamaah sekaligus berarti hanya ada seorang imam dan imam itu mengambil posisi paling depan. Mungkinkah? Harus juga disediakan sound system yang terdengar hingga jamaah paling belakang.

Maka diambil upaya optimal. Ada yang berjamaah di lapangan tengah, ada yang di sela-sela tempat duduk, ada yang samping toilet sepanjang bisa dijauhkan dari najis. Saya yakin, semuanya tetap menghadap kiblat, mengarah ke Ka’bah di Masjidil Haram. Bukan mengarah ke podium tempat capres kampanye. Hal ini tidak akan terjadi jika pengunjung kampanye hanya sedikit dan cukup dengan mushalla yang tersedia di tempat itu.

Di setiap masjid setelah dikumandangkan adzan jamaah melaksanakan shalat sunnat qabliyah atau shalat tahiyatul masjid. Sambil menunggu jamaah lain karena ada yang sedang wudhu atau di perjalanan. Saat iqamat dikumandangkan di masjid itu hanya ada satu rombongan shalat berjamaah dengan seorang imam di paling depan.

Namun setelah rombongan shalat berjamaah ini selesai, datanglah sekelompok orang yang melaksanakan shalat berjamaah di serambi masjid sisi kiri. Datang lagi sekelompok orang yang melaksanakan shalat berjamaah di pojok belakang masjid, dst. Jadilah di masjid itu terdapat beberapa kelompok shalat berjamaah. Ada masjid yang pengurusnya tegas, melarang dibuat kelompok shalat berjamaah baru jika yang lama belum selesai. Aturan ini ditegakkan dengan adanya petugas yang mengawasi setiap orang yang datang ke masjid hendak shalat.

Masjidil Haram yang adalah masjid terbesar di dunia pun memerlukan berbagai kekhususan (khashaish) dan ini ada riwayatnya. Diantaranya adalah bolehnya (bukan harus) bercampur shaf laki-laki dan perempuan. Pada kondisi  normal, ada petugas yang mengatur bagian mana shaf laki-laki dan shaf perempuan. Namun saat puncak kunjungan, seperti saat musim haji, terlebih lailatul qadar, pengaturan shaf jamaah tidak mungkin lagi dilakukan.

Bahkan saat shalat fardhu hari-hari biasa pun sering terjadi jamaah shalat melimpah hingga halaman luar masjid dan jalan-jalan di sekitar. Setiap Jum’at, agar dapat memasuki ruang dalam masjid kita harus datang pukul 08.00 pagi. Setelah waktu itu, cukup puaslah kita shalat di halaman masjid.

Kekhususan lain adalah tidak dilarang melewati shaf jamaah lain. Bedakan dengan di tanah air yang orang akan marah jika kita jalan di depan tempat shalatnya. Di Masjidil Haram jangankan melewati tempat shalat, melangkahi orang yang sedang sujud pun sering terjadi. Saat sedang khusyu’ sujud, ternyata ada kaki orang Turki atau Afrika yang melangkahi kepala kita. Bahkan ada yang sambil memegang kepala kita yang sedang sujud.

Dalam soal haji, ulama Saudi Arabia masih memegang teguh ucapan Rasulullah bahwa batas Arafah adalah ini, ini dan ini. Di Arafah seluruh jamaah berkumpul pada waktu yang sama dan tempat yang sama. Arafah punya luas 3,5 km x 3,5 km. Jadi luas Arafah itu adalah 12.250.000 meter persegi. Daya tampung Arafah terbatas sehingga diadakanlah pembatasan jumlah jamaah atau kuota. Inilah penyebab terjadinya antrian untuk melaksanakan ibadah haji.

Benarlah kata pak AR Fachruddin: Islam itu mudah, namun jangan dipermudah. Boleh juga dianggap sulit namun jangan dipersulit.

Saat ini sulit untuk melaksanakan ibadah haji karena adanya kuota, yaitu 210.000 jamaah per tahun. Ada daerah yang calon hajinya sangat banyak, seperti Sulawesi Selatan sehingga harus antri 20 tahun. Bagaimana solusinya? Laksanakanlah ziarah umrah. Umrah adalah jawaban kita kepada Allah atas perintahnya mengunjungi Baitullah dan tanah haram. Umrah bisa dilakukan kapan saja, terkecuali di musim haji, sehingga kita leluasa mengatur waktunya. Silahkan bergabung dengan “Babussalam Safar”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar