Salah satu akhlaq terpuji (akhlaqul
karimah) Rasulullah adalah beliau tidak pernah mencela makanan. Apabila
beliau tidak suka dengan makanan yang dihidangkan maka beliau memilih diam.
Bahkan jika di rumah tidak ada makanan, beliau memilih shaum (puasa) di
hari itu.
Sebuah sabda Rasulullah menyebutkan: Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ مَا عَابَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا
قَطُّ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak pernah mencela makanan sama sekali”. [HR al-Bukhâri dan
Muslim].
Apabila makanan yang dihidangkan beliau
sukai, maka beliau menyantapnya. Sedangkan sikap beliau saat menghadapai jamuan
yang tidak menarik hati, beliau tidak menjamahnya dengan tanpa mengeluarkan
komentar miring apapun terhadapnya.
كَانَ إِذَا اشْتَهَى
شَيْئًا أَكَلَهُ وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ
“Kalau beliau menyukainya, maka akan
beliau makan. Dan jika tidak menyukainya, beliau meninggalkannya”. [HR
al-Bukhâri dan Muslim].
Sikap di atas merupakan keagungan dan
keluhuran akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menghargai
dan menghormati perasaan orang yang telah memasak atau membuatnya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka mencela hasil kerja orang yang
membuatnya sehingga dapat menyakiti hatinya. Sisi lain, tidak menutup
kemungkinan, ada orang lain yang menyukai makanan tersebut. Hadits di atas
juga, mengajarkan sikap ksatria dalam menghadapi makanan yang tidak disuka,
yaitu dengan cara tidak menyentuh dan meninggalkannya.
Jelaslah bahwa dalam sebuah hidangan,
dalam hal ini makanan, tidak sekedar unsur makanannya saja yang harus
diperhatikan. Namun ada aspek lain, yaitu penghargaan kepada yang
menghidangkan. Terlebih dalam sebuah rumah tangga, yang menghidangkan adalah
istri atau suami. Menghargai makanan yang dihidangkan berarti menghargai karya
atau pekerjaan suami/istri.
Kesesuaian dalam Rumah Tangga
Pasangan suami istri yang baru saja
membangun rumah tangga boleh jadi belum mengenal sifat dan karakter
masing-masing sehingga kurang pas dalam memberikan pelayanan. Misal, istri
belum tahu apakah suaminya lebih menyukai teh manis atau kopi. Kalau membuat
teh manis gulanya cukup setengah sendok atau bahkan harus dua sendok,
dihidangkan dalam kondisi panas sekali ataukah hangat, dsb.
Begitu juga dengan kebiasaan atau sifat
istri. Istri tidak suka dengan barang atau perkakas yang tidak diletakkan pada
tempatnya sehingga setiap kali melihat barang tergeletak begitu saja pasti
segera dibereskan. Boleh jadi suami jengkel karena barang yang baru saja dipakai
tiba-tiba lenyap. Minum kopi baru setengahnya, mau dilanjutkan setelah mandi,
saat ditengok ternyata gelasnya sudah dicuci bersih.
Contoh lain, suami sedang membongkar
motor. Karena agak rumit maka dia perlu berbelanja onderdil ke toko dan segala
peralatan bengkel yang dipakai masih tergeletak. Ternyata ketika tiba kembali
ke rumah segalanya sudah ‘dibereskan’ istri karena istri tidak suka melihat
barang-barang berserakan.
Sekolah yang Tidak Ada Selesainya
Pernikahan adalah untuk seumur hidup dan rumah
tangga adalah sekolah yang tidak ada selesainya. Perbedaan antara suami istri
dalam sebuah rumah tangga adalah wajar karena dalam sebuah pernikahan yang
dipersoalkan bukanlah perbedaan dan atau persamaan. Namun bagaimana mengelola
persamaan dan perbedaan itu sehingga bisa membawa ‘biduk’ rumah tangga selamat
dalam mengarungi samudera kehidupan.
Bayangkan jika biduk rumah tangga itu
oleng karena suami istri tidak pandai mengelola ego masing-masing. Boleh jadi
perahu akan tenggelam dan terkuburlah di laut semua penumpangnya.
Kesesuaian diantara suami istri ada yang
segera terbentuk, ada yang memerlukan waktu lama, ada yang hingga berakhirnya
(kematian suami/istri) rumah tangga belum juga terbentuk. Meski demikian biduk
rumah tangga tersebut tetap berjalan, walau dengan terseok-seok atau
tertatih-tatih karena berbagai pertimbangan. Alangkah baiknya jika diantara
suami istri segera ditemukan kesesuaian dan masing-masing dapat mengelola egonya
dengan baik.
Dalam hal ini diperlukan kepemimpinan
seorang suami. “Al rijalu qawwamuna ‘alan nisa’, laki-laki itu pemimpin
bagi perempuan”.
Teh yang Selalu Kurang Manis
Bayangkan ada seorang suami yang selalu
saja mengatakan teh buatan istrinya selalu kurang manis. “Kurang manis, mah.
Tambahin gula lagi!”, katanya.
Akhirnya istrinya pun membawa lagi gelas
berisi teh manis ke dapur dan menambahkan lagi gula sesendok. Padahal sang
istri sudah puluhan tahun membuat teh manis untuk suaminya, dan suaminya pun
sudah puluhan tahun juga minum teh manis buatan istrinya. Mengapa selalu saja
terjadi “kurang manis”?
Apakah istrinya khawatir suaminya terkena
penyakit diabetes mellitus? Ataukah istrinya khawatir gula di dapur cepat
habis? Mengapa istrinya tidak langsung menuangkan 2-3 sendok gula ke dalam
minuman teh buatannya? Apakah istrinya tidak bosan setiap saat disuruh balik ke
dapur menambahkan gula lagi? Apakah suaminya tidak merasa merepotkan istrinya
dengan permintaan seperti itu? Faktanya, kejadian “kurang manis” ini sampai
terjadi puluhan tahun dalam berumah tangga.
Mengacu pada sabda Rasulullah diatas
pasangan suami istri harus menyadari bahwa sekedar menyajikan makanan untuk
suami saja adalah sebuah permasalahan. Seorang istri harus faham selera
suaminya, sedangkan suami harus siap menerima apa pun yang disajikan istrinya.
Ketika hal ini diamalkan, disitulah tidak timbul masalah rumah tangga. Lebih
dari itu harus disadari jika sekedar “menghidangkan teh” menjadi sebuah
permasalahan haruslah segera dicari solusinya agar tidak melebar menjadi
masalah yang lebih besar.
Rasulullah Seorang Problem Solver
Ketika timbul masalah haruslah dicari
solusinya. Mengapa? Karena boleh jadi akan timbul masalah yang lain. Ketika
seorang istri tidak bisa memenuhi selera makan suaminya, misalnya senang dengan
rendang daging, boleh jadi karena belanja dari suaminya kurang atau karena sang
istri berasal dari suku Jawa. Sebagai solusinya ia bisa membuat rendang
tahu/tempe kalau uang belanjanya kurang, atau ia bisa ‘googling’ untuk belajar
masak rendang yang enak.
Suami
yang merasakan masakan istrinya kurang enak bisa menggunakan cara
bijaksana untuk memberitahu istrinya. Ajaklah istri makan di warung Padang dan
pesanlah rendang. Pancing agar istri memberi komentar rasa rendang itu. Boleh
jadi sang istri akan berkomentar, “Wah, rendangnya enak sekali. Aku jadi pengin
masak rendang seperti ini”.
Nah, kan nyambung! Istri tidak merasakan
masakannya dinilai kurang enak. Inilah salah satu masalah dan solusinya dalam
kehidupan berumah tangga. Sekedar masalah makanan yang tidak sesuai saja
menjadi perhatian Rasulullah dan akhirnya menjadi ajaran Islam. Hal ini menjadi
petunjuk bahwa beliau adalah seorang problem solver, ini adalah sebuah
masalah yang harus diselesaikan.
Dalam kehidupan rumah tangga
masalah-masalah kecil seperti menghidangkan makanan sangatlah banyak. Jika
tidak pernah dicari solusinya niscaya akan sangat melelahkan dan boleh jadi
menghancurkan rumah tangga tersebut. Misal, seorang istri yang kesal dengan
suaminya yang susah dibangunkan, sementara dia sudah capek mengurus berbagai
urusan dapur. Nanti saat suaminya bangun, juga langsung teriak-teriak mencari
handuk, sabun, sikat gigi dll. Selesai mandi teriak-teriak lagi minta
disediakan kopi, sarapan, sepatu dll.
Begitu juga dengan istri. Bukan saja
masakannya kurang enak, namun juga selalu langsung tidur setelah ba’da isya’
karena kecapean seharian bekerja. Istri yang senang membeli barang-barang yang
kurang disukai suami, istri yang berdandan berlama-lama yang memaksa suaminya
menunggu, dll. Jika hal-hal tersebut menjadi permasalahan sepanjang kehidupan
berumah tangga tentunya akan sangat menyiksa dan sangat melelahkan.
Jadilah problem solver seperti
Rasulullah. Menyelesaikan masalah dengan cara sederhana dan tidak menimbulkan
masalah baru. Jika seorang suami suka mempermasalahkan sayur buatan istrinya
yang keasinan, maka ia adalah trouble maker (pembuat keributan), bukan problem
solver. Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar