Jumat, 27 Desember 2019

LARANGAN MENCELA MAKANAN


Salah satu akhlaq terpuji (akhlaqul karimah) Rasulullah adalah beliau tidak pernah mencela makanan. Apabila beliau tidak suka dengan makanan yang dihidangkan maka beliau memilih diam. Bahkan jika di rumah tidak ada makanan, beliau memilih shaum (puasa) di hari itu.

Sebuah sabda Rasulullah menyebutkan: Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ مَا عَابَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mencela makanan sama sekali”. [HR al-Bukhâri dan Muslim].

Apabila makanan yang dihidangkan beliau sukai, maka beliau menyantapnya. Sedangkan sikap beliau saat menghadapai jamuan yang tidak menarik hati, beliau tidak menjamahnya dengan tanpa mengeluarkan komentar miring apapun terhadapnya.
كَانَ إِذَا اشْتَهَى شَيْئًا أَكَلَهُ وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ
Kalau beliau menyukainya, maka akan beliau makan. Dan jika tidak menyukainya, beliau meninggalkannya”. [HR al-Bukhâri dan Muslim].

Sikap di atas merupakan keagungan dan keluhuran akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menghargai dan menghormati perasaan orang yang telah memasak atau membuatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka mencela hasil kerja orang yang membuatnya sehingga dapat menyakiti hatinya. Sisi lain, tidak menutup kemungkinan, ada orang lain yang menyukai makanan tersebut. Hadits di atas juga, mengajarkan sikap ksatria dalam menghadapi makanan yang tidak disuka, yaitu dengan cara tidak menyentuh dan meninggalkannya.

Jelaslah bahwa dalam sebuah hidangan, dalam hal ini makanan, tidak sekedar unsur makanannya saja yang harus diperhatikan. Namun ada aspek lain, yaitu penghargaan kepada yang menghidangkan. Terlebih dalam sebuah rumah tangga, yang menghidangkan adalah istri atau suami. Menghargai makanan yang dihidangkan berarti menghargai karya atau pekerjaan suami/istri.

Kesesuaian dalam Rumah Tangga
Pasangan suami istri yang baru saja membangun rumah tangga boleh jadi belum mengenal sifat dan karakter masing-masing sehingga kurang pas dalam memberikan pelayanan. Misal, istri belum tahu apakah suaminya lebih menyukai teh manis atau kopi. Kalau membuat teh manis gulanya cukup setengah sendok atau bahkan harus dua sendok, dihidangkan dalam kondisi panas sekali ataukah hangat, dsb.

Begitu juga dengan kebiasaan atau sifat istri. Istri tidak suka dengan barang atau perkakas yang tidak diletakkan pada tempatnya sehingga setiap kali melihat barang tergeletak begitu saja pasti segera dibereskan. Boleh jadi suami jengkel karena barang yang baru saja dipakai tiba-tiba lenyap. Minum kopi baru setengahnya, mau dilanjutkan setelah mandi, saat ditengok ternyata gelasnya sudah dicuci bersih.

Contoh lain, suami sedang membongkar motor. Karena agak rumit maka dia perlu berbelanja onderdil ke toko dan segala peralatan bengkel yang dipakai masih tergeletak. Ternyata ketika tiba kembali ke rumah segalanya sudah ‘dibereskan’ istri karena istri tidak suka melihat barang-barang berserakan.

Sekolah yang Tidak Ada Selesainya
Pernikahan adalah untuk seumur hidup dan rumah tangga adalah sekolah yang tidak ada selesainya. Perbedaan antara suami istri dalam sebuah rumah tangga adalah wajar karena dalam sebuah pernikahan yang dipersoalkan bukanlah perbedaan dan atau persamaan. Namun bagaimana mengelola persamaan dan perbedaan itu sehingga bisa membawa ‘biduk’ rumah tangga selamat dalam mengarungi samudera kehidupan.

Bayangkan jika biduk rumah tangga itu oleng karena suami istri tidak pandai mengelola ego masing-masing. Boleh jadi perahu akan tenggelam dan terkuburlah di laut semua penumpangnya.

Kesesuaian diantara suami istri ada yang segera terbentuk, ada yang memerlukan waktu lama, ada yang hingga berakhirnya (kematian suami/istri) rumah tangga belum juga terbentuk. Meski demikian biduk rumah tangga tersebut tetap berjalan, walau dengan terseok-seok atau tertatih-tatih karena berbagai pertimbangan. Alangkah baiknya jika diantara suami istri segera ditemukan kesesuaian dan masing-masing dapat mengelola egonya dengan baik.

Dalam hal ini diperlukan kepemimpinan seorang suami. “Al rijalu qawwamuna ‘alan nisa’, laki-laki itu pemimpin bagi perempuan”.

Teh yang Selalu Kurang Manis
Bayangkan ada seorang suami yang selalu saja mengatakan teh buatan istrinya selalu kurang manis. “Kurang manis, mah. Tambahin gula lagi!”, katanya.

Akhirnya istrinya pun membawa lagi gelas berisi teh manis ke dapur dan menambahkan lagi gula sesendok. Padahal sang istri sudah puluhan tahun membuat teh manis untuk suaminya, dan suaminya pun sudah puluhan tahun juga minum teh manis buatan istrinya. Mengapa selalu saja terjadi “kurang manis”?

Apakah istrinya khawatir suaminya terkena penyakit diabetes mellitus? Ataukah istrinya khawatir gula di dapur cepat habis? Mengapa istrinya tidak langsung menuangkan 2-3 sendok gula ke dalam minuman teh buatannya? Apakah istrinya tidak bosan setiap saat disuruh balik ke dapur menambahkan gula lagi? Apakah suaminya tidak merasa merepotkan istrinya dengan permintaan seperti itu? Faktanya, kejadian “kurang manis” ini sampai terjadi puluhan tahun dalam berumah tangga.

Mengacu pada sabda Rasulullah diatas pasangan suami istri harus menyadari bahwa sekedar menyajikan makanan untuk suami saja adalah sebuah permasalahan. Seorang istri harus faham selera suaminya, sedangkan suami harus siap menerima apa pun yang disajikan istrinya. Ketika hal ini diamalkan, disitulah tidak timbul masalah rumah tangga. Lebih dari itu harus disadari jika sekedar “menghidangkan teh” menjadi sebuah permasalahan haruslah segera dicari solusinya agar tidak melebar menjadi masalah yang lebih besar.

Rasulullah Seorang Problem Solver
Ketika timbul masalah haruslah dicari solusinya. Mengapa? Karena boleh jadi akan timbul masalah yang lain. Ketika seorang istri tidak bisa memenuhi selera makan suaminya, misalnya senang dengan rendang daging, boleh jadi karena belanja dari suaminya kurang atau karena sang istri berasal dari suku Jawa. Sebagai solusinya ia bisa membuat rendang tahu/tempe kalau uang belanjanya kurang, atau ia bisa ‘googling’ untuk belajar masak rendang yang enak.

Suami  yang merasakan masakan istrinya kurang enak bisa menggunakan cara bijaksana untuk memberitahu istrinya. Ajaklah istri makan di warung Padang dan pesanlah rendang. Pancing agar istri memberi komentar rasa rendang itu. Boleh jadi sang istri akan berkomentar, “Wah, rendangnya enak sekali. Aku jadi pengin masak rendang seperti ini”.

Nah, kan nyambung! Istri tidak merasakan masakannya dinilai kurang enak. Inilah salah satu masalah dan solusinya dalam kehidupan berumah tangga. Sekedar masalah makanan yang tidak sesuai saja menjadi perhatian Rasulullah dan akhirnya menjadi ajaran Islam. Hal ini menjadi petunjuk bahwa beliau adalah seorang problem solver, ini adalah sebuah masalah yang harus diselesaikan.

Dalam kehidupan rumah tangga masalah-masalah kecil seperti menghidangkan makanan sangatlah banyak. Jika tidak pernah dicari solusinya niscaya akan sangat melelahkan dan boleh jadi menghancurkan rumah tangga tersebut. Misal, seorang istri yang kesal dengan suaminya yang susah dibangunkan, sementara dia sudah capek mengurus berbagai urusan dapur. Nanti saat suaminya bangun, juga langsung teriak-teriak mencari handuk, sabun, sikat gigi dll. Selesai mandi teriak-teriak lagi minta disediakan kopi, sarapan, sepatu dll.

Begitu juga dengan istri. Bukan saja masakannya kurang enak, namun juga selalu langsung tidur setelah ba’da isya’ karena kecapean seharian bekerja. Istri yang senang membeli barang-barang yang kurang disukai suami, istri yang berdandan berlama-lama yang memaksa suaminya menunggu, dll. Jika hal-hal tersebut menjadi permasalahan sepanjang kehidupan berumah tangga tentunya akan sangat menyiksa dan sangat melelahkan.

Jadilah problem solver seperti Rasulullah. Menyelesaikan masalah dengan cara sederhana dan tidak menimbulkan masalah baru. Jika seorang suami suka mempermasalahkan sayur buatan istrinya yang keasinan, maka ia adalah trouble maker (pembuat keributan), bukan problem solver. Salam.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar