Proses perakitan mobil adalah sebuah sistem yang rumit. |
Pada
suatu kesempatan rihlah (wisata, refreshing) bersama para sahabat
di pinggiran Madinah terekam sebuah kejadian saat hendak dilakukan
penyembelihan domba. Rasulullah mengabsen satu persatu sahabat. “Siapa yang
akan menyembelih domba?”, tanya beliau.
“Saya, ya
Rasulullah!”, kata seorang sahabat.
“Siapa yang akan
menguliti?”, tanya Rasulullah lagi.
“Saya, ya
Rasulullah!”, kata seorang sahabat yang lain.
Beliau bagi seluruh
tugas sehingga setiap sahabat kebagian. Ada yang mendirikan tenda, ada yang
membersihkan rumput di lokasi perkemahan, ada yang menyiapkan air, dst. Hingga
beliau berucap dan bertanya pada diri sendiri, “Kalian semua sudah memiliki
tugas masing-masing. Terus tugas saya apa?”
Rasulullah
nampak berfikir sejenak dan kemudian berkata, “Ana jam’ul khathab. Saya
bagian mencari kayu bakarnya!”
اَنَا
جَمْعُ الْخَطَبِ
“Saya mengumpulkan kayu”.
Itulah
salah satu kepribadian Rasulullah. Beliau selalu berfikir tentang sebuah
sistem. Sebuah sistem bukan sekedar sekumpulan barang atau tugas, namun
bagaimana kesemuanya terangkai dan menghasilkan sesuatu. Sebagai sebuah contoh,
lihatlah sekumpulan barang: batu bata, pasir, semen. Apakah barang-barang
tersebut bisa disebut tembok? Tentu saja tidak!
Menjadi
sebuah tembok jika barang-barang tersebut, yaitu batu bata disusun, dan
direkatkan dengan adonan pasir dan semen. Untuk mencampur pasir dan semen
diperlukan air dan alat-alat seperti: cangkul, ember, cetok.
Contoh
lain, misalkan diberikan sekumpulan onderdil sepeda: roda, pedal, stang,
rantai, gir, rangka sepeda, lampu. Onderdil-onderdil tersebut dikumpulkan saja
dalam sebuah wadah kardus. Apakah sudah bisa disebut sepeda? Tentu saja belum!
Perlu dirangkai, dan saat merangkai itu diperlukan tambahan sekrup, minyak pelumas,
perlu alat obeng, tang, palu dsb. Barulah akan jadi sebuah sistem, yaitu
sepeda.
Tumpukan kayu bakar. |
Rasulullah Tidak
Nge-boss-in
Dari
kisah diatas jelaslah bahwa Rasulullah bukanlah manusia tipe boss
sebagaimana dikenal sekarang: hanya pandai memerintah, suruh-suruh bawahan dan
kemudian ongkang-ongkang kaki. Rasulullah membagi tugas kepada seluruh sahabat
yang ikut rihlah pada saat itu dan kemudian beliau sendiri juga
mengambil sebuah tugas, yaitu mengumpulkan kayu bakar.
Sikap
Rasulullah seperti itu perlu dicontoh dalam sebuah lembaga keagamaan, seperti:
kepengurusan masjid (DKM), ormas Islam, pondok pesantren dan madrasah. Apalagi
dalam sebuah ponpes atau madrasah yang memiliki anak asuh dan santri, tentu
diperlukan keteladanan dari pimpinannya.
Tidak
pantas bersikap sebagai seorang boss dalam lingkungan organisasi
keislaman karena biasanya lembaga belum bisa memberi kesejahteraan yang
memadai, masih memerlukan pengorbanan waktu dan tenaga bawahan atau staff.
Disinilah diperlukan keteladanan dan keersamaan dari pimpinan lembaga. Ada
pepatah: sebuah contoh melebihi ribuan kata-kata.
Rasulullah
Berfikir Solutif
Menjadi
seorang boss lebih berorientasi pada jabatan dan kekuasaan, bukan pada
hasil. Boss selalu memerintah, marah-marah kepada bawahan, bahkan tidak segan memecat
bawahan jika pekerjaannya tidak memuaskan. Rasulullah lebih memikirkan
bagaimana sebuah pekerjaan lekas selesai dan menunjukkan hasilnya. Tak peduli
jika beliau harus turun tangan untuk membantu menyelesaikan pekerjaan itu.
Terbayang
situasi saat itu. Semua tugas sudah terbagi kepada seluruh sahabat dan semuanya
sudah mulai bekerja. Namun Rasulullah masih melihat sebuah celah: belum ada
yang mengumpulkan kayu bakar. Boleh jadi domba sudah disembelih dan dikuliti,
siap dinaikkan ke pemanggangan. Tenda pun sudah berdiri, persediaan air sudah
cukup, para sahabat kemudian duduk-duduk melepas lelah.
Cara memanggang kambing guling |
Domba
guling belum bisa disantap karena belum ada kayu bakar untuk memanggangnya.
Disinilah kejelian Rasulullah. “Ana jam’ul khathab, saya yang
mengumpulkan kayunya”, kata beliau.
Beliau
lepas atribut sebagai seorang Rasul. Atau bahkan itulah ciri seorang Rasul,
yaitu memberi teladan. Dalam sejarah kenabian Rasulullah Muhammad Saw salah
satu gelar beliau adalah “abul yatama”, pelindung anak-anak yatim. Berbeda
dengan Nabi Sulaiman yang juga seorang raja, bahkan termasuk rakyatnya adalah
para jin dan segala jenis binatang.
Perlunya Berfikir
tentang Sistem
Sebuah
sistem bukan saja terdiri dari sekumpulan unsur. Namun setiap unsur tersebut
memiliki tugas atau fungsi tersendiri dan secara keseluruhan melahirkan sebuah
bentuk atau menghasilkan sesuatu. Berbicara atau berfikir sebagai sebuah sistem
akan membawa pada pemahaman bahwa segala sesuatu itu memberikan kontribusi dan
tidak mungkin terbentuk sebuah sistem jika terdapat kekurangan unsur.
Pesawat
terbang tidak akan dapat melayang di udara jika tidak ada rodanya untuk take-off.
Sebuah radio tidak bisa menghasilkan suara jika sebuah transistornya rusak.
Sebuah sepeda tidak bisa melaju jika rantainya putus, dst. Bahkan sebuah sekrup
tak kalah penting keberadaannya dibandingkan onderdil atau unsur yang lain.
Sering terdengar ungkapan: aku hanyalah sebuah sekrup dalam sebuah sistem.
Ummat
Islam yang memiliki potensi sangat luar biasa perlu berfikir tentang sebuah
sistem. Sekarang pun hal itu sudah terlihat, missal: Muhammadiyah berdakwah
melalui pendirian sekolah/universitas dan rumah sakit, Nahdlatul Ulama
mengembangkan pondok pesantren dan majelis-majelis taklim, FPI mengedepankan nahy
munkar (mencegah kemungkaran) dikarenakan banyaknya kemaksiatan di tengah
masyarakat.
Sinergi
dakwah ini perlu lebih ditingkatkan. Forum-forum diskusi diantara ummat Islam
perlu terus dijalin untuk menentukan tujuan dan target dakwah. Saat pembagian
tugas jangan sibuk berebut menjadi ketua. Sebagai semuah system perjuangan,
semuanya memiliki fungsi penting. Kedepankan semboyan “fastabiqul khairat”,
berlomba-lomba dalam kebaikan.
Kita
patut bersedih jika ummat Islam mengedepankan ego masing-masing dan tidak
berfikir tentang sebuah sistem. Sibuk bertarung berebut jadi ketua, sibuk
bersaing mendapat dana bantuan. Akhirnya ummat Islam hanya nampak sebagai buih.
Besar dalam hal jumlah namun tidak ada manfaatnya.
Bapak Kyai beserta ibu saat berwisata di Pulau Komodo NTT |
Jangan Kurang
Piknik
Pesan
kecil dari kisah Rasulullah dan para sahabat diatas adalah: sering-seringlah
piknik. Pada zaman Rasulullah mungkin cukup di pinggiran kota Madinah dengan
berbekal seekor domba untuk dijadikan kambing guling. Piknik berfungsi sebagai refreshing
(penyegaran) agar seseorang tetap produktif. Tidak dipungkiri rutinitas kerja
membuat produktivitas seseorang menurun. Lebih dari itu dapat mendatangkan efek
negatif, seperti: kebosanan, kemalasan, bahkan sakit fisik dan psikis.
Solusinya
adalah piknik. Pepatah mengatakan: as safaru madrasatul kabiratun,
bepergian itu adalah lahan ilmu yang sangat luas. Traveling is the large
college. Jadi, jangan sampai terjadi kurang piknik!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar