Bangun
tidur pukul 02.00 semalam saya dikejutkan oleh berita meninggalnya pak Dadi.
Setengah tidak percaya, saya scroll laman FB ke atas: belum ada yang
memberitakan selain berita tadi. Akhirnya saya chat WA beberapa teman, dan
maklum kalau tidak terjawab karena masih tengah malam.
Sambil
menunggu subuh saya berfikir bagaimana besok melayatnya, sementara sedang musim
wabah seperti ini. Itupun seandainya berita itu benar. Barulah selepas subuh
saya mendapat kepastian dari pak Agus yang tinggal di Subang. Iya, benar, pak
Dadi meninggal dunia selepas maghrib di rumah sakit. Dari rumah sakit langsung
dibawa ke makam, tanpa harus singgah ke rumah.
Inna
lillahi wa inna ilaihi roji’un. Seorang sahabat yang teramat sangat baik telah
mendahului kita semua. Semoga amal ibadahnya diterima Allah Swt, dan
keluarganya diberi kesabaran menerima musibah ini.
Saya mengenal pak Dadi sekitar tahun 2003-2004 saat mulai aktif di HPA (Herba Penawar Alwahida), sebuah perusahaan obat herba dari Malaysia. Saat itu pendiri HPA, yaitu Tuan Haji Ismail bin Ahmad banyak melakukan presentasi di Indonesia dan salah satu pendampingnya adalah pak Dadi. Belakangan saya ketahui segala atribut dan merchandise HPA ternyata adalah buatan pak Dadi. Mulai dari jaket, mug, gantungan kunci, kaos, pin, cinderamata dll. Bahkan buku-buku pelajaran dari Tuan Haji Ismail, pak Dadi lah yang menulis dan mencetaknya.
Saya mengenal pak Dadi sekitar tahun 2003-2004 saat mulai aktif di HPA (Herba Penawar Alwahida), sebuah perusahaan obat herba dari Malaysia. Saat itu pendiri HPA, yaitu Tuan Haji Ismail bin Ahmad banyak melakukan presentasi di Indonesia dan salah satu pendampingnya adalah pak Dadi. Belakangan saya ketahui segala atribut dan merchandise HPA ternyata adalah buatan pak Dadi. Mulai dari jaket, mug, gantungan kunci, kaos, pin, cinderamata dll. Bahkan buku-buku pelajaran dari Tuan Haji Ismail, pak Dadi lah yang menulis dan mencetaknya.
Tentang
menulis buku ini yang saya sempat heran. Saat itu Tuan Haji Ismail berada di
Indonesia hanya sekitar 3-4 hari, kemudian kembali ke Malaysia. Bagaimana
mungkin pak Dadi mampu menyerap ilmu beliau dalam waktu sesingkat itu dan
menjadikannya sebuah buku. Ternyata diluar kedatangan Tuan Haji Ismail ke
Indonesia, pak Dadi sering sendirian ke Malaysia berguru pada beliau dan
membawa segala pernak pernik merchandise HPA. Terbayang dari hasil berniaga merchandise
HPA di Indonesia dan Malaysia saja pak Dadi sudah cukup ‘banyak duit’. Semoga.
Pak Dadi
adalah orang yang tekun. Sehari-hari berada di rumah yang sekaligus dijadikan
tempat kerjanya, ditemani seorang karyawan, pak Cahyan. Pagi-pagi sekali dia
mengantarkan istrinya ke terminal Ledeng yang bekerja di RSUD Subang.
Selanjutnya mengantar anak sekolah di Darul Hikam Dago. Dari sini ia sering
main ke rumah saya menunjukkan produk barunya.
Selebihnya
hanyalah ‘ngutek’ (mengunci diri) di depan komputer: mendesain, menulis
buku. Saya geleng-geleng kepala melihat pak Dadi menulis buku: dengan software
CorelDraw. Buku-buku Tuan Haji Ismail memang penuh dengan gambar herba namun
kalau harus disetting dengan CorelDraw, saya memilih angkat tangan. Dia keluar
rumah untuk afdruk foto di Jonas atau berbelanja pernak-pernik. Maaf kalau saya
sedikit ‘sok tahu’ karena sebenarnya hanya itulah yang saya ketahui.
Jiwa
wiraswastanya boleh jadi berkaitan dengan riwayat pendidikannya, yaitu alumnus
Pondok Modern Gontor. Dia bercerita pernah memberi modal kepada seseorang
sebanyak Rp. 25.000,- Disuruhnya orang itu berbelanja buah di pasar,
dipotong-potong, dibungkus plastik, dan dipasarkan di depan rumahnya. Ternyata
dalam sehari modal Rp. 25.000,- itu berubah menjadi Rp. 50.000,- yang berarti
untung 100%. Besoknya dijalankan lagi bisnis buah itu yang berarti sudah
memberi lapangan pekerjaan kepada seseorang.
Di bengkelnya
terus saja dibuat gantungan kunci, baik ada pesanan ataupun tidak. Pesanan
besar datang dari Gontor dan Darut Tauhid, yang tidak ada logonya biasanya
digunakan untuk memberi modal bagi siapa saja yang ingin belajar berwiraswasta.
Saat terkumpul sekian puluh ribu gantungan kunci, ia mengantarnya sendiri ke
Gontor Ponorogo. Tak ada orang yang menyangka ia alumni Gontor karena dalam
kesehariannya jarang terlihat berbahasa Arab atau mengeluarkan dalil.
Usahanya semakin
melejit saat ia membeli mesin pemotong laser (laser cutting) seharga Rp
65 juta karena saat itu alat itu masih tergolong asing. Orang-orang memotong
akrilik masih dengan gergaji, ia sudah beralih menggunakan mesin laser. Ternyata
feeling bisnisnya jalan, pengrajin cinderamata di sepanjang Jalan
Surapati dan Suci pun akhirnya makloon memotong akrilik di tempatnya.
Namun ia tetap seorang
yang rendah hati, tidak mau aji mumpung, pasang harga tinggi
mentang-mentang tidak ada pesaing. Ia hitung dengan cermat ukuran berapa ke
berapa, rumitnya seperti apa, barulah ditetapkan upahnya. Ia pasang harga itu
untuk siapa saja, orang baru atau orang lama, yang hanya akan datang sekali
atau sudah menjadi pelanggan. Dia juga tidak pernah memprioritaskan seseorang.
Sekiranya pesanan itu tidak bisa dipenuhi, biasanya karena sedang penuh
pekerjaan, pesanan itupun ia tolak meski dari orang dekatnya. Inilah yang
sangat saya kagumi.
Dengan cara low
profile ini ternyata usahanya semakin maju. Awal tahun ini ia bercerita
baru saja membeli laser cutter yang baru, lebar 190 cm, digunakan untuk
membuat kerudung bermotif di pinggirannya. Saya tanya berapa ongkosnya: Rp.
10.000,- per biji, tinggal bawa kain sendiri. Tidak pakai minimal order. Dengan
cara ini pak Dadi sudah memberi lapangan kerja bagi banyak ibu-ibu yang hendak
berjualan kerudung di komunitasnya.
Hari ini saya
hanya mampu mengiringi kepulangannya dengan seuntai doa: Allahummagh fir
lahu warhamu wa’afihi wa’fu ‘anhu. Selamat jalan pak Dadi Purwadi Krama,
semoga Allah menerima kepulanganmu dengan segala ridhoNya. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar