Selasa, 14 April 2020

MENGENANG SEORANG SAHABAT: PAK DADI YANG TIDAK PERNAH “AJI MUMPUNG”

Bangun tidur pukul 02.00 semalam saya dikejutkan oleh berita meninggalnya pak Dadi. Setengah tidak percaya, saya scroll laman FB ke atas: belum ada yang memberitakan selain berita tadi. Akhirnya saya chat WA beberapa teman, dan maklum kalau tidak terjawab karena masih tengah malam.

Sambil menunggu subuh saya berfikir bagaimana besok melayatnya, sementara sedang musim wabah seperti ini. Itupun seandainya berita itu benar. Barulah selepas subuh saya mendapat kepastian dari pak Agus yang tinggal di Subang. Iya, benar, pak Dadi meninggal dunia selepas maghrib di rumah sakit. Dari rumah sakit langsung dibawa ke makam, tanpa harus singgah ke rumah.


Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Seorang sahabat yang teramat sangat baik telah mendahului kita semua. Semoga amal ibadahnya diterima Allah Swt, dan keluarganya diberi kesabaran menerima musibah ini.

Saya mengenal pak Dadi sekitar tahun 2003-2004 saat mulai aktif di HPA (Herba Penawar Alwahida), sebuah perusahaan obat herba dari Malaysia. Saat itu pendiri HPA, yaitu Tuan Haji Ismail bin Ahmad banyak melakukan presentasi di Indonesia dan salah satu pendampingnya adalah pak Dadi. Belakangan saya ketahui segala atribut dan merchandise HPA ternyata adalah buatan pak Dadi. Mulai dari jaket, mug, gantungan kunci, kaos, pin, cinderamata dll. Bahkan buku-buku pelajaran dari Tuan Haji Ismail, pak Dadi lah yang menulis dan mencetaknya.

Tentang menulis buku ini yang saya sempat heran. Saat itu Tuan Haji Ismail berada di Indonesia hanya sekitar 3-4 hari, kemudian kembali ke Malaysia. Bagaimana mungkin pak Dadi mampu menyerap ilmu beliau dalam waktu sesingkat itu dan menjadikannya sebuah buku. Ternyata diluar kedatangan Tuan Haji Ismail ke Indonesia, pak Dadi sering sendirian ke Malaysia berguru pada beliau dan membawa segala pernak pernik merchandise HPA. Terbayang dari hasil berniaga merchandise HPA di Indonesia dan Malaysia saja pak Dadi sudah cukup ‘banyak duit’. Semoga.

Pak Dadi adalah orang yang tekun. Sehari-hari berada di rumah yang sekaligus dijadikan tempat kerjanya, ditemani seorang karyawan, pak Cahyan. Pagi-pagi sekali dia mengantarkan istrinya ke terminal Ledeng yang bekerja di RSUD Subang. Selanjutnya mengantar anak sekolah di Darul Hikam Dago. Dari sini ia sering main ke rumah saya menunjukkan produk barunya.

Selebihnya hanyalah ‘ngutek’ (mengunci diri) di depan komputer: mendesain, menulis buku. Saya geleng-geleng kepala melihat pak Dadi menulis buku: dengan software CorelDraw. Buku-buku Tuan Haji Ismail memang penuh dengan gambar herba namun kalau harus disetting dengan CorelDraw, saya memilih angkat tangan. Dia keluar rumah untuk afdruk foto di Jonas atau berbelanja pernak-pernik. Maaf kalau saya sedikit ‘sok tahu’ karena sebenarnya hanya itulah yang saya ketahui.

Jiwa wiraswastanya boleh jadi berkaitan dengan riwayat pendidikannya, yaitu alumnus Pondok Modern Gontor. Dia bercerita pernah memberi modal kepada seseorang sebanyak Rp. 25.000,- Disuruhnya orang itu berbelanja buah di pasar, dipotong-potong, dibungkus plastik, dan dipasarkan di depan rumahnya. Ternyata dalam sehari modal Rp. 25.000,- itu berubah menjadi Rp. 50.000,- yang berarti untung 100%. Besoknya dijalankan lagi bisnis buah itu yang berarti sudah memberi lapangan pekerjaan kepada seseorang.

Di bengkelnya terus saja dibuat gantungan kunci, baik ada pesanan ataupun tidak. Pesanan besar datang dari Gontor dan Darut Tauhid, yang tidak ada logonya biasanya digunakan untuk memberi modal bagi siapa saja yang ingin belajar berwiraswasta. Saat terkumpul sekian puluh ribu gantungan kunci, ia mengantarnya sendiri ke Gontor Ponorogo. Tak ada orang yang menyangka ia alumni Gontor karena dalam kesehariannya jarang terlihat berbahasa Arab atau mengeluarkan dalil.

Usahanya semakin melejit saat ia membeli mesin pemotong laser (laser cutting) seharga Rp 65 juta karena saat itu alat itu masih tergolong asing. Orang-orang memotong akrilik masih dengan gergaji, ia sudah beralih menggunakan mesin laser. Ternyata feeling bisnisnya jalan, pengrajin cinderamata di sepanjang Jalan Surapati dan Suci pun akhirnya makloon memotong akrilik di tempatnya.

Namun ia tetap seorang yang rendah hati, tidak mau aji mumpung, pasang harga tinggi mentang-mentang tidak ada pesaing. Ia hitung dengan cermat ukuran berapa ke berapa, rumitnya seperti apa, barulah ditetapkan upahnya. Ia pasang harga itu untuk siapa saja, orang baru atau orang lama, yang hanya akan datang sekali atau sudah menjadi pelanggan. Dia juga tidak pernah memprioritaskan seseorang. Sekiranya pesanan itu tidak bisa dipenuhi, biasanya karena sedang penuh pekerjaan, pesanan itupun ia tolak meski dari orang dekatnya. Inilah yang sangat saya kagumi.

Dengan cara low profile ini ternyata usahanya semakin maju. Awal tahun ini ia bercerita baru saja membeli laser cutter yang baru, lebar 190 cm, digunakan untuk membuat kerudung bermotif di pinggirannya. Saya tanya berapa ongkosnya: Rp. 10.000,- per biji, tinggal bawa kain sendiri. Tidak pakai minimal order. Dengan cara ini pak Dadi sudah memberi lapangan kerja bagi banyak ibu-ibu yang hendak berjualan kerudung di komunitasnya.

Hari ini saya hanya mampu mengiringi kepulangannya dengan seuntai doa: Allahummagh fir lahu warhamu wa’afihi wa’fu ‘anhu. Selamat jalan pak Dadi Purwadi Krama, semoga Allah menerima kepulanganmu dengan segala ridhoNya. Amin.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar