Ada seorang kawan yang saat kuliah dulu sambil nyantri di
sebuah pondok pesantren. Karena di pesantren tersebut masih kekurangan guru,
jadilah ia juga membantu mengajar matematika di madrasahnya. Alhamdu lillah ia
kemudian lulus kuliah, menjadi seorang sarjana bahkan diterima menjadi dosen di
sebuah STIMIK swasta. Bukan suatu yang aneh karena peristiwa ini terjadi tahun
1992-1993 disaat seorang lulusan sarjana S1 dengan mudah bisa menjadi dosen.
Sejak menjadi dosen ia mengurangi jadwalnya di pesantren.
Perjumpaan saya dengannya pun sedikit berkurang. Terlebih saat ia menyatakan
meninggalkan pesantren karena diminta memegang jabatan struktural di perguruan
tingginya. Sejak saat itu boleh dikatakan saya kehilangan kontak karena belum
ada handphone, kendaraan masih sulit dll.
Lama tak ada kabarnya tiba-tiba saya dengar dia sekarang
jadi prajurit Angkatan Laut. Berita itu saya terima sekitar tahun 2002. Hah?
Saya setengah tidak percaya beliau (sekarang saya menyebut beliau karena usianya
tentu tidak muda lagi) jadi prajurit Angkatan Laut mengingat pembawaannya yang
sangat halus. Tutur katanya sangat halus, tingkah lakunya juga sangat halus,
jauh dari kesan tegas yang biasa ditunjukkan oleh seorang prajurit atau
tentara. Lucu juga jika membayangkan beliau yang sangat lembut tindak tanduknya
tiba-tiba berjalan tegap sebagai seorang prajurit Angkatan Laut, apalagi beraksi
di sebuah kapal perang. Namun keheranan saya tidak bertahan lama mengingat
beliau juga tidak di pesantren lagi sehingga tidak pernah berjumpa lagi.
Sabtu kemarin tiba-tiba beliau muncul di pesantren. Dari
jauh saya ‘pangling’ karena posturnya seperti seorang pejabat: tegap, tinggi,
berpakaian formil, berkacamata. Namun setelah dekat dan melihat wajahnya saya
pastikan sangat mengenalnya. Setelah bersalaman dan berbasa-basi saya ajak
beliau ngobrol di ruang tamu. Tak lupa saya tanyakan ‘asbabul wurudnya’
sehingga beliau menjadi seorang TNI-AL. Maka mengalirlah cerita dari mulut
beliau!
“Tahun 1995 saya diminta pulang oleh orang tua. Saya anak
bungsu dari 6 bersaudara. Kakak-kakak saya sudah berkeluarga semua dan tinggal
terpisah dengan orang tua. Meskipun sudah mapan sebagai dosen dan memiliki
jabatan struktural, semua saya tinggalkan demi memenuhi panggilan orang tua.
Sebulan dua bulan masih ‘enjoy’ saja dengan suasana yang ada
meskipun tidak ada kesibukan. Namun setelah 3-4 bulan di rumah mulai merasa
tidak enak karena tidak ada kesibukan, sedangkan di Bandung saya biasa
disibukkan dengan pekerjaan.
Suatu saat saya diajak teman yang akan mendaftar sebagai
calon tentara. Saya oke-oke saja karena saat itu memang tidak ada pekerjaan.
Jadilah saya menemani kawan saya tersebut mengurus segala proses pendaftaran.
Membawakan berkas-berkasnya, keluar
masuk ruangan pendaftaran dst.
Saat selesai mengurus pendaftaran, teman saya berkata:
Mengapa kamu tidak sekalian saja mendaftar? Mumpung masih ada waktu
pendaftaran.
Sampai di rumah saya ceritakan peristiwa ini kepada ayah.
Alhamdu lillah ayah mengijinkan, toh belum tentu diterima. Saya kemudian
menyiapkan berbagai berkas yang diperlukan, meskipun harus kerja keras karena
waktunya cukup ‘mepet’.
Peristiwa luar biasa terjadi: saya diterima pada saat tes
pertama di Palembang, sedangkan teman yang saya antar dahulu justru tidak
diterima. Saya masih berusaha menghibur ayah: masih ada testing berikutnya di
Magelang, belum tentu saya lolos. Saya khawatir ayah merasa saya tinggalkan.
Ternyata saat testing terakhir di Akademi Militer di
Magelang saya dinyatakan lulus. Inilah ‘asbabul wurud’nya saya menjadi seorang
tentara”.
Saya tidak bisa menyembunyikan kekaguman: begitulah yang
terjadi jika kita berbakti pada orang tua. Sekarang beliau berpangkat Mayor,
bertugas di Mabes AL Cilangkap, tinggal di Depok dengan seorang istri dari
Palembang juga dan 4 orang anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar