Malam tadi saya menunggu anak yang
turun dari angkot di terminal Dago. Saya tunggu sampai 15 menit belum juga
datang, sedangkan battery HP sudah hampir habis. Maklum, nunggunya sambil WA-an.
Akhirnya saya putuskan masuk warung sate ayam. Pesan sate bukan karena lapar
namun supaya bisa numpang mengisi battery HP.
Tengah makan sate datanglah anak
saya. Saya ajak dia makan karena sate yang 10 tusuk itu baru saya makan 3 tusuk
saja. “Nih ikut makan, ditambul juga gakpapa”, kata saya. 'Ditambul' itu dimakan
tanpa nasi, bahasa Jawa-nya 'digado'.
“Enggak ah! Abi kan nggak pernah
bener makannya”, kata anak saya.
Saya tercekat mendengar jawaban itu. “Saya
gak pernah bener makannya?”, kata saya dalam hati.
Oh…. saya baru ingat. Mungkin yang dia
maksud adalah posisi saya yang selalu menjadi “ahli thaharah” saat makan di
rumah.
Saya memang ketat dalam hal menjaga
makanan agar tidak ada yang mubazir. Itulah sebabnya sering saya dahulukan anak
dan istri untuk memilih makanan. Barulah saya terakhir kebagian sisanya.
Terkadang anak yang kecil tidak habis makannya dan sayalah yang menghabiskan.
Istri juga tidak suka pedas sehingga sering saya yang melanjutkan makan.
Berkali-kali saya sampaikan: jangan pernah merasa kurang selama masih suka
memubazirkan barang. Jangan katakan kurang ini kurang itu, disisi lain suka
memubazirkan barang.
Saya berpesan pada anak istri: pagi
hari sebelum pembantu datang, bereskan meja makan. Kalau ada sisa makanan,
silahkan dihangatkan dan dimakan lagi. Atau berikan pada ayam di belakang
rumah. Jangan sampai pembantu melihat makanan yang susah payah dia masak,
ternyata hanya disia-siakan oleh si empunya rumah.
Itulah sebabnya saya tercekat saat
anak saya mengatakan: makan saya gak pernah benar. Padahal sesungguhnya saya
juga seorang penikmat kuliner. Saat diluar rumah karena tuntutan tugas, saya
selalu perhatikan asupan makanan. Jika seharian penuh diluar rumah saya bisa
makan di 3 rumah makan dengan menu berbeda. Menunya tetap sederhana, sekedar untuk
menjaga kondisi tubuh agar tetap sehat sehingga bisa produktif.
Terima kasih ananda yang sudah
memberi penilaian pada ayahnya. Abi bangga memiliki anak seperti ananda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar